Quick Wins yang Terlalu Cepat Berakhir

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 23/10/2018 - Pandangan mata tertuju ke Citarum. Bukan karena keindahannya, akan tetapi karena keburukannya.
 
Sejumlah pemimpin daerah, pejabat negara, penegak hukum, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, telah hadir secara langsung di lapangan menyaksikan ketidakbenaran. Namun, lagi-lagi hasil penanganan Citarum masih jauh panggang dari api.
 
Sejumlah proyek internasional sudah hadir. Anggaran negara dicurahkan. Sejumlah inisiatif telah digulirkan.
 
Sadar akan kemampuan dan batasan birokrasi, Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Citarum Ciliwung (BPDASHL Citarum Ciliwung), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memfokuskan dukungan penanganan Citarum pada aspek pengelolaan lahan dan konservasi tanah dan air DAS Citarum.
 
Namanya Quick Wins, sebuah program cepat tanggap terkait pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan indikator terukur.
 
Waktunya hanya enam bulan dengan didampingi 56 tenaga fasilitator. Saat itu, 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencanangkan program quick wins untuk 15 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki prioritas penanganan.
 
Citarum menjadi salah satu DAS prioritas untuk digarap. Tantangannya sangat berat. Sederet predikat buruk terlanjur melekat.
 
Citarum sungai paling tercemar sedunia. Citarum gawat, kondisinya sekarat, perlu cepat dirawat! Demikian analoginya.
 
Musababnya adalah fakta bahwa di Citarum ada 76.959 hektar lahan kritis (Ditjen BPDAS dan PS).
 
Lahan kritis tersebut lebih luas dari wilayah negara Singapura yang hanya 71.600 hektar.
 
Kritisnya lahan di DAS Citarum membuat tingkat erosi tinggi yang secara nyata menyebabkan pendangkalan pada 3 waduk paling penting di Jawa Barat; Waduk Saguling, Waduk Cirata, Waduk Jatiluhur.
 
Rekayasa fisik dan sipil digulirkan dengan harapan ada hasil yang signifikan. Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi degradasi lahan adalah konservasi tanah air dengan alami dan buatan.
 
Pendekatan alami dilakukan dengan membangun agroforestry atau wanatani yaitu menumbuhkan berbagai jenis tanaman di lahan-lahan kritis.
 
Keragaman tersebut meliputi keragaman manfaat seperti kayu, buah, palawija, dan sayuran.
 
Keragaman juga dapat dilhat dari struktur tanaman ada yang tinggi, sedang, rendah, dan tumbuhan penutup tanah.
 
Konfigurasi tersebut merupakan bagian dari strategi untuk menahan, menghambat, dan menyerap air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah.
 
Pendekatan teknis sipil dilakukan dengan embangun beberapa bangunan konservasi tanah dan air yaitu (a) dam penahan, (b) dam pengendali, (c) gully plug, dan (d) sumur resapan.
 
Lahan kritis menjadi areal prioritas untuk pelaksanaan kegiatan quick wins.
 
Hal tersebut dikarenakan keberadaan lahan kritis memiliki daya dukung DAS yang rendah dalam sistem tata air dan berpotensi menyebabkan masalah longsor, banjir, dan kekeringan.
 
Wanatani: Ragam Tanaman dengan Aneka Manfaat
 
Capaian quick wins dari pelaksanaan wanatani masih jauh dari luasan potensial yang perlu digarap.
 
Pelaksanaan program quick wins dalam membangun wanatani hanya mencakup 4,6 % dari luas potensial lahan yang dapat dikembangkan menjadi wanatani.
 
Bahkan jika mengacu pada Dokumen Rencana Tindak Pengelolaan DAS Citarum, luasan potensial pengembangan wana tani mencapai 117.314 hektar di daerah hulu, tengah, dan hilir.
 
Namun demikian, daya ungkit dari program wanatani ini sesungguhnya sejalan dengan dorongan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sejumlah 240 kelompok tani turut membangun formasi hutan kebun seluas 5.475 hektar di 126 desa.
 
Wanatani memungkinkan beragam pemanfaatan potensi lahan. Jenis tanaman campuran mulai dari pepohonan kayu, buah-buahan, tanaman palawija, sayur mayur, serta rerumputan sebagai penutup tanah.
 
Ragam jenis tanaman membantu menahan, menghambat, dan menyerap air hujan ke dalam tanah. Dengan demikian tingkat erosi dapat ditekan.
 
Periode pemanfaatan hasil lahan juga beragam. Sayuran dapat dipanen setiap hari, palawija dalam hitungan bulan, panen buah dapat dilakukan waktu tertentu dalam setahun, dan pemanfaatan kayu dalam beberapa tahun.
 
Wanatani juga dikombinasikan dengan ternak domba atau sapi yang memberikan stimulan kelompok tani, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar.
 
Sejumlah langkah diterapkan untuk menjamin keberhasilan pembangunan wanatani. Penyuluh dan fasilitator diterjunkan.
 
Pembangunan wanatani dilakukan secara bertahap dimulai dengan menyusun rancangan, menyediakan bibit, penyempurnaan bangunan konservasi tanah, penananam, dan pemeliharaan.
 
Aspek yang tak kalah penting adalah penyiapan kelembagaan kelompok tani. Kelompok tani yang terbentuk akan mengikuti sosialisasi dan pelatihan.
 
Kelompok kemudian menentukan lahan yang akan dijadikan kegiatan wanatani. Sejumlah pertemuan kelompok dilakukan untuk merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan wanatani.
 
Mereka juga memiliki kewajiban menyiapkan administrasi dan penyusun perangkat aturan kelompok.
 
Bangunan fisik berbasis alur sungai ditujukan untuk menahan limpasan permukaan dan menjerap tanah sedimentasi agar tidak masuk ke dalam aliran sungai utama.
 
Indeks erosi DAS Citarum bagian hulu memperlihatkan kondisi buruk sampai dengan sangat buruk. Hasil perhitungan jumlah erosi potensial pada Rencana Pengelolaan DAS Citarum Terpadu menunjukan ada 112.346.477 ton per tahun.
 
Jumlah erosi untuk Citarum bagian tengah mencapai 16.496.471 ton per tahun. Sementara di bagian hilir, jumlah erosi berkurang menjadi 12.848.303 ton per tahun.
 
Bangunan fisik dam penahan (Dpn) merupakan struktur bangunan yang bertujuan mengurangi erosi pada parit atau selokan dengan mengurangi kecapatan aliran air permukaan.
 
Dpn ditempatkan pada lahan yang kritis dan potensial kritis dengan tingkat sedimentasi yang sangat tinggi.
 
Satu Dpn dapat mencakup luas lahan 10-30 hektar dengan kemiringan lahan 15-35%.
 
Program quick wins dalam menyediakan Dpn di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat berhasil membangun 143 unit atau 86 % dari total yang direncanakan.
 
Angka ini masih jauh dari kebutuhan penyediaan Dpn di seluruh DAS Citarum yang mencapai 4.443 unit.
 
Dam Pengendali (Dpi) memiliki fungsi yang sama dengan dam penahan.
 
Secara struktur, bangunan Dpi lebih besar dari Dpn. Ukurannya mencapai tinggi 8 meter untuk luasan area 100- 250 hektar.
 
Bangunan Dpi dapat dikendalikan sedemikian rupa sebagai tempat parkir air sementara.
 
Dengan demikian, sedimentasi akan lebih banyak terjarap dalam bangunan sebelum masuk aliran utama.
 
Selama periode quick wins, BPDASHL Citarum Ciliwung membangun Dpi sebanyak dua unit di Kabupaten Bandung. Ini artinya, dua unit Dpi yang direncanakan seluruhnya dapat terealisasi.
 
Bangunan pengendali jurang atau disebut gully plug dibuat dengan investasi yang lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan Dpn dan Dpi.
 
Gully plug ditempatkan pada parit dengan kontruksi batu, kayu atau bambu. Dengan kondisi tersebut, gully plug memungkinkan air yang mengalir dalam parit dapat lolos.
 
Selama peiode quick wins, di Kabupaten Bandung dari 250 unit gully plug yang direncanakan seluruhnya dapat terbangun. Sementara di Kabupaten Bandung Barat dari 150 unit yang direncanakan, hanya terealisasi 85 unit.
 
Bangunan lain yang diterapkan sebagai pendekatan konservasi tanah dan air adalah sumur resapan air (SRA).
 
Teknik ini tak ubahnya membuat sumur tanah dengan kedalaman tertentu. Fungsi sumur adalah menampung air hujan yang jatuh dari atap bangunan tertentu dan meresapkannya ke dalam tanah.
 
Realisasi pembangunan SRA sangat baik dengan hasil mencapai 100 %. Selama program quick wins, SRA yang berhasil dibangun mencapai 2.100 unit.
 
Sementara itu untuk membantu memantau tata air dalam pengelolaan DAS, BPDASHL Citarum Ciliwung membangun dua Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) di Sub DAS Cihaur dan Sub DAS Ciminyak.
 
Periode quick wins memang sudah berakhir. Namun ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pelaksanaan berbagai pendekatan untuk membantu mengatasi lahan kritis di Citarum.
 
Beberapa faktor yang menyebabkan kesuksesan pelaksanaan kegiatan di lapangan adalah (1) keterlibatan kelembagaan lokal yang peduli terhadap lingkungan dan tersedianya fasilitator yang mumpuni dalam mendampingi kelompok masyarakat, (2) kelompok tani dengan kesadaran sendiri telah menerapkan konservasi tanah dan air sehingga program quick wins dengan mudah dapat diterima, dan (3) Konsep wanatani secara jelas diterima oleh kelompok tani sehingga mereka bersedia menanam pohon kayu-kayuan di ladang sayuran.
 
Teknis sipil telah secara nyata memperlihatkan fungsi yang nyata dalam menjarap erosi.
 
Namun demikian diakui bahwa pemeliharaan bangunan konservasi tanah dan air tidak optimal.
 
Bahkan untuk pengerukan sedimentasi yang telah terjerap dala gully plug, dam penahan, dam pengendali, dan sumur resapan tidak dilakukan.
 
Dengan demikian, dengan tingkat erosi yang tinggi di Citarum maka umur pakai bangunan tersebut sangat pendek.