Menaruh Harapan pada Citarum

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 21/10/2018 - Jika mampu menyelamatkan Citarum, sejatinya kita telah menjaga keutuhan dan ketahanan bangsa ini.
 
Bagaimana tidak, sungai yang mengalir sepanjang 297 kilometer ini mampu mendukung kehidupan lebih dari 27 juta manusia yang tinggal di Jawa Barat dan DKI Jakarta. 80 persen kebutuhan air minum penduduk Jakarta berasal dari Citarum.
 
Selain sebagai penyuplai air bersih dan menghasilkan listrik untuk Jawa-Bali, Citarum juga mampu memberikan air untuk irigasi persawahan seluas 420.000 hektar. Juga telah dibuktikan sejak dulu kala lahan di sepanjang Citarum sangat subur.
 
Cianjur dan Karawang menjadi lumbung pangan untuk warga Jawa Barat. Berdasarkan data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum Ciliwung luas keseluruhan DAS Citarum mencapai 721.945,66 hektar.
 
Semakin bertambahnya jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, seharusnya mereka yang tinggal di wilayah tersebut kesadarannya untuk menjaga dan melestarikan Citarum semakin tumbuh.
 
Namun, kenyataan pahit harus kita terima. Masih banyak yang tidak mempedulikan keberadaannya.
 
Mulai dari hulu hingga ke hilirnya, kondisi Citarum kian memprihatinkan dan sangat kritis. Berbagai label dan julukan negatif harus diterima oleh Citarum.
 
Kemegahannya yang dikenal sejak kehidupan manusia prasejarah dan rumah dari sebuah peradaban tenggelam dengan bau busuk dan hitamnya air Citarum.
 
Rusaknya DAS Citarum akan berdampak terhadap berbagai lini pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
 
Bencana dan kerugian finansial akibat dari hilangnya hutan dan kawasan resapan air di hulu Citarum, timbunan sampah plastik di sepanjang sungai, limbah rumah tangga, hingga limbah industri yang ada di sepanjang Citarum sudah dirasakan sejak puluhan tahun yang lalu.
 
Sedimentasi yang mencapai 4-7 juta m3 per tahun di Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.
 
Data dari PT Pembangkit Jawa-Bali, biaya yang dikeluarkan oleh PJB untuk perawatan Waduk Cirata selama tiga dekade sudah mencapai 7 triliun.
 
Biaya yang dibutuhkan untuk mengeruk dan menyelesaikan masalah sedimentasi di Waduk Cirata lebih murah dengan membuat waduk baru.
 
Belum lagi kerugian akibat debit air yang berkurang dan ancaman percepatan korosi akibat air Citarum yang tercemar yang memperpendek usia waduk dan PLTA.
 
Ikan dari Waduk Cirata dan Saguling juga telah dilaporkan tercemar berat. Mengkonsumsi ikan yang berasal dari waduk ini dalam waktu lama bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
 
Kandungan logam berat pada ikan ini disebabkan air di waduk tercemar. Dari 4 unsur logam berat yang diuji di air Waduk Cirata, 3 diantaranya melebihi ambang batas dalam Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82 Tahun 2001.
 
Untuk timbal (Pb), kandungannya di air 0,036 part per million (ppm), ambang batasnya 0,03 ppm. Krom (Cr) 0,045 ppm dari ambang batas 0,05 ppm. Kadmium (Cd) 0,032 ppm dari ambang batas 0,01 ppm. Merkuri (Hg) 0,011 ppm dari ambang batas 0,001 ppm.
 
Pencemaran logam berat juga terjadi di Waduk Saguling. Waduk itu terhubung dengan Sungai Citarum.
 
Air, endapan danau, dan ikan di waduk itu tercemar logam berat jenis Pb, Cd, Cr, dan Hg (Kompas, 29 Juni 2018). Rusak dan tercemarnya Citarum oleh limbah berbahaya sudah sangat nyata.
 
Pencemaran yang terjadi telah membahayakan kesehatan manusia walau dampaknya tidak bisa dirasakan dengan seketika. Ini akan menimbulkan bencana kemanusiaan dan kerugian finansial yang lebih besar. Bahkan bisa saja mengancam ketahanan bangsa.
 
Berbagai proyek dan program untuk membenahi masalah Sungai Citarum telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001.
 
Terakhir, sejak tahun 2014 Pemprov Jabar kembali membuat program yang diberi nama Citarum Bestari. Sejauh ini, keberhasilan program tersebut perlu dikaji secara objektik.
 
Namun yang jelas, sudah hampir 16 tahun program pemulihan berjalan, permasalahan di sungai sampai saat ini masih saja belum terurai.
 
Permasalahan utama yang sulit ditindak adalah permasalahan pembuangan limbah oleh sejumlah pabrik nakal yang beroperasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
 
Data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mencatat, ada sekitar 2800 pabrik yang mendirikan bangunannya di area sepadan sungai Citarum.
 
Buruknya pengelolaan ditambah minimnya krontol, alhasil Sungai Citarum harus menanggung beban 280.000 ton limbah cair per hari.
 
Belum lagi dengan ditambahnya 1.500 ton sampah domestik dari rumah tangga. Sudah saatnya membuat skala prioritas untuk menyelamatkan Citarum.
 
Inisiasi yang dilakukan oleh Pangdam III Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo pada akhir tahun 2017 untuk mengembalikan fungsi Citarum haruslah didukung oleh semua pihak.
 
Program yang diberi nama Citarum Harum memiliki tantangan berat agar bisa menyelesaikan masalah dari hulu hingga hilir.
 
Mengubah perilaku masyarakat dengan tetap memperhatikan ekonomi masyarakat. Apa yang diinisiasi Doni Monardo mendapat dukungan penuh dari Presiden Joko Widodo.
 
Disaat kunjungannya ke Cisanti, Hulu Citarum, Jokowi menargetkan pemulihan Citarum bisa dituntaskan dalam waktu tujuh tahun.
 
Ia pun menerbitkan Perpres Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum agar memastikan niatan kuat untuk membenahi Citarum bisa berjalan, siapapun nanti pejabat yang menjabat di bawahnya.
 
Sejak awal tahun 2018 para prajurit Siliwangi diterjunkan untuk “perang” terhadap kerusakan Citarum. Doni Monardo membuat batasan wilayah atau sektor di Citarum menjadi 22 sektor, dimana setiap sektor dipimpin langsung seorang perwira berpangkat kolonel.
 
Ia membangun komunikasi untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak baik dari lembaga/kementerian, akademisi, mahasiswa, komunitas, ulama, budayawan, media dan aktivis untuk bisa bekerja bersama-sama menyelamatkan Citarum.
 
Baginya keterlibatan masyarakat luas dan terbuka adalah metode yang paling tepat untuk bisa menyelamatkan Citarum.
 
Hingga saat ini, walaupun ia sudah tidak lagi menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi karena sudah naik pangkat menjadi Letnan Jenderal dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), ia masih memiliki komitmen untuk mengawal dan mendukung upaya pemulihan Citarum.
 
“Membersihkan sungai ini penting, tapi yang lebih penting lagi adalah membersihkan hati masyarakat yang masih belum peduli terhadap lingkungan. Kebersihan sungai dan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah” katanya.
 
Ia juga menambahkan, bonus demografi 2030 tidak akan terwujud jika generasi yang akan datang sakit-sakitan. Fisik dan mentalnya tidak sehat. “Yang ada Indonesia cemas” katanya.
 
Tentunya kita akan belajar banyak dari Citarum sekaligus menaruh harapan terhadap Citarum. Kompleksnya permasalahan yang ada di Citarum membutuhkan pola dan strategi baru dalam penyelesaian permasalahannya.
 
Keterlibatan para perwira tinggi TNI dan para prajuritnya akan membuat sejarah baru jika memang nantinya Citarum bisa diselamatkan.
 
Dengan berbagai tipikal permasalahan di lapangan dan berbagai karakter masyarakat yang merusak DAS Citarum bisa diselesaikan dengan keterlibatan TNI.
 
Bukan hal yang mustahil revitalisasi atau penyelamatan DAS kritis lainnya di Indonesia bisa dijalankan dengan berbekal pengalaman dari Citarum.
 
Tentunya komitmen seorang Doni Monardo perlu mendapat dukungan kementerian atau lembaga dan kita semua.
 
Sehingga kita bisa mengukir dan mengembalikan kemegahan Citarum di mata dunia. Menjadi kebanggaan anak bangsa.