Tak Ada Kicau Burung di Citarum

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 28/10/2018 - Geolog Belanda Van Bemmelen (1949) dalam buku Geologi Cekungan Bandung, menyebutkan pada masa lampau, dataran Bandung merupakan sisa dari danau yang terbentuk akibat pembendungan Sungai Citarum purba oleh produk-produk letusan Gunung Tangkuban Perahu.
 
Sisa-sisa itu masih ada, setidaknya hingga tahun 1970-an. Ketika Bandung kota dan sekitarnya masih ditemukan ranca (rawa-rawa) dan pesawahan yang membentang luas.
 
Konon kabarnya, menurut informasi penduduk setempat, keberadaan ranca dan pesawahan atau lahan basah itu senantiasa digenangi air melimpah ruah, terlebih saat musim penghujan.
 
Keberadaan lahan basah merupakan ekosistem bagi beragam organisme perairan, termasuk jenis ikan dan burung.
 
Setidaknya, pada periode tersebut masih ditemukan ikan khas Citarum seperti Beunteur (Puntius binotatus), Lele (Clarias bratachus), Gabus (Channa striatus) dan jenis lain lainnya.
 
Keberadaan ikan khas tersebut menjadi berkah tersendiri bagi penduduk sekitar sebagai tambahan asupan protein yang dapat dipanen secara gratis dari alam. Begitu juga dengan kehadiran burung Citarum.
 
Kuntul Blekok (Ardeola speciose), Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis), bangau (Ciconiidae), Kuak Malam (Nycticorax nycticorax), dan Belibis Kembang (Dendrocygna arquata) dinilai menguntungkan, terutama bagi petani sampai tiba waktu panen.
 
Jejen, petani asal Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung pernah menikmati kondisi masa lalu itu.
 
Dia pun menuai berkah dari lestarinya lingkungan Kota Bandung.
 
Pria 64 tahun itu memejamkan mata ketika diminta mengingat jenis burung sawah yang pernah hidup di tempatnya mengayuh cangkul.
 
Namun, Jejen hanya mampu menyebut beberapa jenis burung saja.
 
“Wah sudah banyak lupa euy. Saya senang sekali kalau mengenang waktu itu. Pokoknya mah kehadiran burung sawah dirindukan petani” katanya.
 
Hal itu sangat beralasan. Pasalnya, keberadaan burung penting untuk ekosistem sawah.
 
Mereka memakan hama serangga dan ulat yang rentan merusak tanaman padi. Yang lebih penting dari itu, keberadaan burung menjadi tolok ukur lingkungan yang baik.
 
Kini, keragaman jenis ikan dan burung tak lagi singgah di lahan basah. Akibat sungai telah menjadi rusak dinodai limbah dan sampah.
 
Situasi yang kian memburuk ini seakan membawa sungai menuju senjakalanya.
 
Ornitolog atau pakar burung, Johan Iskandar, setidaknya telah mengamati burung di daerah aliran sungai (DAS) Citarum hulu, tengah dan hilir, sejak kurun waktu 1980-an hingga 2005-an.
 
Selama pengamatannya itu, Johan mencatat 232 jenis burung dari 45 famili hidup di sungai yang bermuara di Laut Jawa ini.
 
Akan tetapi, seiring kehancuran sungai mulai dari hulu hingga hilir menyebabkan lahan basah yang menjadi habitat mereka tidak bisa lagi menopang kehidupan.
 
Diperkirakan, seperempat dari total jenis burung yang ada di Citarum telah mengalami kepunahan secara lokal.
 
“Kondisinya kian terdesak oleh pembangunan. Banyak burung yang keberadaaanya tiada terlacak lagi,” kata Johan.
 
Padahal, di sekitar kawasan Sungai Citarum ini biasa dijadikan sebagai tempat persinggahan burung migrasi.
 
Kawanan burung penjelajah itu menempuh jarak ribuan kilometer dari belahan bumi utara, seperti Rusia, Mongolia, dan Cina untuk singgah ke wilayah tropis tiap tahun, termasuk wilayah Citarum.
 
Akan tetapi, alur migrasi yang telah berlangsung lama dan terpola secara alami ini jadi kacau.
 
Akibat tempat persinggahan mereka turut berubah. Dari awalnya lahan basah, beralih menjadi kawasan terbangun. Belum lagi, air yang tercemar.
 
Padahal di beberapa kawasan itu menurut Johan merupakan habitat alami burung.
 
Di Bandung Utara, misalnya, dia pernah mencatat jenis-jenis burung seperti Kepodang (Oriolus chinensis), Gagak (Corvus enca), Gaok (Corvus macrorhynchos) dan Pacikrak (Prinia famliaris).
 
Habitat mereka di rimbunnya hutan yang ada disana.
 
Demikian pula, di pinggiran Bandung, ditemukan habitat Burung Gelatik (Pada oryzivora), Manyar (Lonchura manyar), dan Burung Pecuk (Phalacrocorax sulcirostris) dengan jumlah cukup banyak yang mencari makan di dekat persawahan dan rawa-rawa.
 
“Jenis lain seperti Burung Decu (Saxiola caprata), Dudut (Centropus bengalensis), Bubut (Centropus sinensis), Puyuh Tegalan (Turnix suscitaror) juga gampang dijumpai,” ucapnya.
 
Namun kini, Citarum tak dihiasi celoteh burung. Hampir kebanyakan jenis burung itu sudah tidak ditemukan kembali.
 
Jenis burung sawah seperti Bangau Tongtong (Leptoptilos javanicus) yang habitatnya berada di kawasan sawah cekungan Bandung, pun sudah lama punah secara lokal.
 
Johan pantas gusar. Sungai Citarum tadinya surga bagi kawanan burung. Malah berbalik menjadi tempat menyeramkan hanya dalam tempo yang singkat.
 
Sungguh disayangkan, karena bagi Johan, keberadaan burung di alam miliki peranan penting, sebagai indikator lestarinya lingkungan.
 
Bukan hanya itu, bahkan perannya memberikan fungsi ecosystem services (layanan ekosistem).
 
Seharusnya pemerintah mulai menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan program SDGs (Sustainable Development Goals).
 
Pun dengan hilangnya habitat burung, sebaiknya menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan penataan tata ruang supaya dapat meminimalisir kerusakan sungai.
 
“Disamping itu, perlu juga upaya perlindungan dan penataan vegetasi yang menjadi tempat hidup burung, terutama di sepadan sungai,” katanya.
 
Karena sejatinya, untuk mentukan indikator kualitas lingkungan perairan yang baik, sangatlah sederhana.
 
Hal itu, dapat diamati dari jenis Burung Udang (Famili Alcedinidae), Cekakak (Halcyon cyanoventris), dan Raja Udang Meninting (Alcedo meninting) yang notabene habitatnya berada dekat sungai.
 
Bila masih ditemukan, itu menandakan kualitas lingkungan masih baik.
 
Kepunahan
 
Barangkali sedikit sekali yang tahu bahwa selain penanda lingkungan baik, burung mahir menentukan peralihan musim.
 
Kapinis Asia (Hirundo rustica), dan Kicuit (Motacila spp) adalah burung yang sering melakukan migrasi dengan jarak hingga ribuan kilometer.
 
Bilamana mereka migrasi, itu menunjukan musim akan berganti.
 
Burung juga memiliki tugas “menghijaukan” hutan secara alami. Di kawasan hutan hulu Citarum pernah dihuni jenis burung seperti Kangkareng (Anthracoceros albirostris), Julang (Buceros rhinoceros), Merak, dan Burung Paok (Pita guajana) yang selalu menebarkan biji.
 
Sehingga burung tersebut dijuluki burung penjaga hutan karena dapat meroboisasi hutan secara alami.
 
Namun, hal ini tidaklah tertransmisikan dengan baik kepada generasi selanjutnya.
 
Alhasil mereka tidak banyak mengetahui tentang peranan burung, sekalipun telah punah.
 
Elang Ruyuk (Spilornis cheela), Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) yang mempunyai peran penyeimbang dalam kestabilan ekosistem.
 
Kemudian burung dari famili Nectariniidae, Sriganti (Nectarinia jugularis), Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) dan Burung Klaces (Aracnothera longirostra) yang membantu penyerbukan tumbuhan, tidak lagi terlacak keberadaannya.
 
Pantas saja bila DAS Hulu Citarum kritis, meski reboisasi terus diupayakan.
 
Kerusakan memang tidak dapat disangkal. Keseimbangan Citarum perlahan memuram.
 
Faktanya, lenyapnya sejumlah burung berbanding lurus dengan degradasi hutan. Wajar, jika kualitas lingkungan hancur.
 
Fenomena ini, menimbulkan ancaman dari berbagai lini. “Mengingat permasalahan saat ini lebih utama akibat ulah manusia. Maka, faktor penekanannya membangunan kesadaran. Setelah itu, barulah dapat diupayakan program yang lebih mengarah kepada porsi permasalahannya di lapangan” kata Johan.
 
Sebagai catatan, lanjut Johan, memulihkan ekosistem Citarum tidaklah dapat dituntaskan dalam jangka pendek.
 
Perlu waktu sangat panjang serta berkesinambungan. Dan apabila kondisi ini dibiarkan tanpa kejelasan, besar kemungkinan tidak ada lagi kicau burung khas Citarum.