Secuil Masalah dari Citarum yang Muram

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 30/10/2018 - Andaikan pencemaran adalah kisah yang akan dibahas dalam sebuah narasi. Barangkali pencemaran hanya akan menempati secuil permasalahan saja, yang akan dibahas pada Sungai Citarum.
 
Seharusnya, tebakan bagaimana akhirnya pun mudah diketahui.
 
Sebab hanya ada dua tebakan akhir, antara Citarum menjadi baik atau justru dirundung muram berkepanjangan.
 
Seyogyanya, pencemaran bukanlah persoalan yang tabu. Terlebih persoalan itu bukan tanpa penanganan.
 
Beragam upaya dari pemerintah telah diwujudkan melalui program-program strategis pemulihan yang terus dimutakhirkan.
 
Akan tetapi, memang pada kenyataannya sungai ini benar-benar tercemar hebat. Celakanya, pencemaran seolah berpindah wujud menjadi masalah kronis.
 
Begitu juga dana yang besar hasil pinjam dari luar negeri untuk perbaikan seolah menguap dari hulu hingga hilir Sungai Citarum. Lantas, apa yang salah?
 
Belum lama ini, penulis memasuki daerah Majalaya di Kabupaten Bandung, sejauh mata memandang hanya tampak tembok pabrik-pabrik kusam, bekas endapan lumpur banjir di sepadan sungai.
 
Udara kotor berdebu bergumul di bawah atap langit yang pucat, seolah memberikan ucapan “selamat datang di kawasan tekstil”.
 
Pada tahun 1960-an, tekstil sempat menghantarkan Majalaya dijuluki sebagai ”Kota Dollar”.
 
Bahkan pasca kemerdekaan, Majalaya berkembang pesat jadi pusat tekstil nasional. Lalu akhir tahun 1964, Majalaya menguasai 25 persen dari 10.000 lebih alat tenun mesin di Jabar.
 
Tidak dimungkiri, Majalaya adalah cikal bakal industri tekstil modern di Indonesia. Walau perkembangannya baru terasa di tahun 1930-an.
 
Hal itu juga karena dipelopori pengusaha tekstil lokal. Jauh sebelumnya, pada tahun 1921 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Textile Inrichting Bandoeng, kini bernama Sekolah Tinggi Tekstil Bandung.
 
Tujuh tahun berselang, beberapa gadis asal Majalaya dikirim ke Bandung untuk belajar tenun menggunakan alat tenun semi-otomatis, disebut Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
 
Mereka-lah yang mewariskan teknik tenun dan membangun dinasti usaha tekstil rakyat.
 
Setelah itu, kejayaan tekstil menggema di kawasan yang termasuk hulu Citarum ini. Akan tetapi, gegap gempita tekstil lokal tak berlangsung lama.
 
Akhirnya, di tahun 1980-an tekstil rakyat menuju senjakalanya dan meredup. Akibat pengaruh dari masuknya kekuatan finansial pemodal luar dengan mendirikan pabrik.
 
Ketidakmampuan industri tekstil lokal dalam merestrukturisasi mesin yang lebih efisien ikut menurunkan daya saing.
 
Secara perlahan, industri tekstil rakyat pun kalah karena tersisih. Setelah 30 tahun usaha tekstil rakyat mati, tumbuh seribu lebih industri tekstil modern.
 
Peralihan itu memunculkan perosalan baru. Budaya sungai yang dimiliki masyarakat sekitar Sungai Citarum semakin luntur oleh perkembangan zaman.
 
Penyebabnya adalah kepentingan ekonomi dan struktur pemerintahan yang alpa melakukan kontrol.
 
Hal ini tidak hanya akan berdampak pada rusaknya lingkungan, tetapi juga menurunnya karakter sosial budaya antar masyarakat.
 
Menurut informasi yang dihimpun, bahan baku tekstil rakyat itu tadinya berasal dari tanaman tarum (Indigofera tinctoria) yang dijadikan pewarnanya.
 
Tumbuhan yang tumbuh di sempadan sungai ini kerap dikaitkan dengan nama sungai Citarum.
 
Namun, seiring berjalanan waktu, bahan alami tersebut diganti dengan bahan kimia. Padahal, tarum dipercaya menjadi asal mula nama Citarum.
 
Berpolemik Dikemudian Hari
 
Secara umum, sebuah kebijakan merupakan upaya menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai alternatif solusi.
 
Begitupun dengan Citarum. Pola-pola penyelesaian melewati kebijakan yang dihadirkan kerap berujung polemik.
 
Mungkin, hal itu kurang komprehensif dalam menjawab segala tuntutan supaya Citarum menjadi baik.
 
Perlu diketahui, salah satu program prestisius untuk Citarum pernah dicetuskan pada 2008.
 
Program yang digagas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini mendapat pinjaman 500 juta dollar AS dari Bank Pembangunan Asia (ADB) demi penanganan Citarum secara komprehensif.
 
Program tersebut mengukuhkan DAS Citarum sebagai DAS pertama di Indonesia yang ditangani secara terpadu pada tempo itu.
 
Selama 10 tahun berjalan keberhasilan program tersebut masih perlu dikaji secara objektif.
 
Selain beban pencemaran dan sampah belum terselesaikan, pun demikian dengan beban hutang yang ikut mengendap di Citarum.
 
Sementara itu demi Citarum, Pemerintah Provinsi Jabar juga menganggarkan Rp 25 miliar per-tahun untuk Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis.
 
Dana itu bertujuan menutupi 37.758 hektar lahan di luar kawasan hutan negara yang tercatat sebagai lahan kritis.
 
Pemprov Jabar juga pernah merekomendasi program penanganan banjir Citarum dari hulu hingga hilir senilai Rp 3,356 triliun. Skema pendanaannya kolaborasi bersama antara pemerintah daerah dan pusat.
 
Rekomendasi itu meliputi pembuatan waduk atau embung di hulu, penampungan air di hilir, tanggul penahan banjir, dan normalisasi sungai berupa pengerukan dan pelebaran sungai.
 
Pemprov Jabar berencana dalam waktu dekat membuat 14 waduk besar dan kecil untuk menampung potensi 15,8 juta meter kubik air.
 
Seperti katak dalam tempurung, pendekatan yang dilakukan Pemprov Jabar mengalami kebuntuan. Sehingga 2013, Pemprov menginisiasi adanya program baru yaitu Citarum Bestari untuk memastikan ada perbaikan terhadap perilaku.
 
Ihwal keberhasilannya, Pemprov Jabar mengklaim terjadi penurunan sampah hingga 50%.
 
Teruskan Perbaikan
 
Saat program baru Citarum, diresmikan Februari lalu. Tim Satuan Tugas Citarum Harum terus bekerja mengupayakan perbaikan kondisi Sungai Citarum.
 
Salah satu langkah yang ditempuh untuk mengembalikan kondisi sungai ialah dengan menindak tegas pabrik-pabrik nakal mencemari sungai.
 
Komandan Sektor 21 Citarum Harum, Kolonel Infanteri Yusep Sudrajat mengatakan TNI melakukan pengawasan dan penertiban terhadap pabrik-pabrik yang berada di sekitar Daerah Aliran Sungai sebagai bentuk pemulihan ekosistem dari pencemaran.
 
Hingga saat ini, Sektor 21 sudah melaporkan setidaknya 27 dugaan pembuangan limbah tanpa diolah.
 
Namun dari jumlah tersebut, baru tiga pabrik yang berhasil ditutup paksa aparat.
 
Penutupan saluran outfall limbah dilakukan semata-mata untuk memulihkan ekosistem sungai. Khusus untuk limbah, tahapan prosedural ditempuh.
 
Dari dugaan temuan pelanggaran mesti dilaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) terkait dan Kepolisiaan Daerah (Polda) Jabar.
 
Kedua lembaga ini nantinya bakal menyelidiki kandungan air melalui uji laboratorium terhadap sampel yang diamati.
 
“Sampai saat ini hasilnya masih kurang maksimal karena selalu berlindung dari regulasi yang ada. Baku mutu air setelah dibawa ke laboratorium selalu sesuai, walaupun warnanya keruh, hitam, merah, biru dan lain sebagainya,” katanya.
 
Tapi, hampir seluruh sampel memiliki baku mutu air yang masih bisa ditoleransi sehingga tak masuk kategori limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).
 
Pengaturan soal warna limbah dalam regulasi yang ada, menurut Yusep, masih belum jelas. Karena itu, ia memandang perlu adanya tinjauan regulasi terkait standar baku mutu air.
 
Tujuannya agar pabrik-pabrik pembuang limbah dengan warna mencolok dapat ditindak.
 
Sementara itu, di tempat Awim (68) menggarap lahan, Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, limbah seolah jadi pemandangan lumrah.
 
Buktinya, anak sungai yang melintasi wilayah tersebut sudah dijadikan tempat pembuangan limbah pabrik.
 
Begitu juga saluran irigasi, kondisinya pun tidak jauh berbeda. Tercemar dan kotor.
 
Awim kesal betul tatkala limbah menggenang di sawahnya. Pikirannya berkecamuk, setelah menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli bibit dan juga pupuk.
 
Belum lagi biaya lainnya, hingga kerugian sudah harus ditelannya kembali.
 
Dikatakan, limbah yang keluar kerap berwarna-warni, berbau menyengat dan bertemperatur tinggi. “Hampir tiap hari limbah itu dibuang tanpa henti ke sungai langsung,” ungkap Awin.
 
Alhasil, pertanian pun makin sulit ditopang. Air justru terkontaminasi limbah cair. Produksi padi mengalami kemerosotan digerogoti limbah.
 
Kini, petani hanya dapat memanen 3-4 ton gabah basah per-hektarnya. Itupun dengan kualitas yang buruk.
 
Padahal sebelum terkontaminasi limbah, ia bisa mendapatkan 7-8 ton gabah.
 
Sejauh ini, pada realitasnya tak pernah ada valuasi ekonomi untuk dampak pencemaran Sungai Citarum.
 
Meskipun kerugian ada di depan mata. Angka kerugian dalam bentuk materi juga tidak ada.
 
Pun belum menghitung air mata dan penderitaan para penderita infeksi yang terakumulasi pencemaran limbah industri.