Peradaban Citarum Kuno

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 03/11/2018 - Sungai Citarum telah mengantarkan kejayaan peradaban manusia yang ada di negara ini.
 
Sungai sepanjang 297 kilometer dinilai memiliki peran strategis dalam membangun peradaban manusia di masa lampau.
 
Diyakini pula, saat masa Kerajaan Tarumanagara berkuasa (4-8 M), di muara sungai batas antara daratan dan lautan ada sebuah pelabuhan besar bahkan sudah difungsikan. Ini adalah sebagai bukti majunya peradaban saat itu.
 
Menurut naskah Wangsakerta, pusat kerajaan Tarumanagara terletak di daerah tepi sungai.
 
Meski begitu, tak diketahui persis letak kerajaan tersebut. Tetapi berdasarkan temuan arkeologi, kerajaan tersebut terletak di muara Citarum antara di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.
 
Bukti kejayaan di Sungai Citarum, diperkuat dengan ditemukannya kompleks percandian di Batujaya, Kabupaten Karawang.
 
Situs Percandian Batujaya terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya.
 
Tahun 1985, tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia melakukan penelitian awal dengan mengekskavasi di seluas 5 kilometer persegi.
 
Hasilnya, 20 sisa bangunan candi ditemukan dan diindetifikasi. Beberapa candi besar juga berhasil diekskavasi yaitu Candi Jiwa dan Candi Blandongan.
 
Juru Pelihara Candi Jiwa Nasri mengatakan, sebelumnya kawasan tersebut hanyalah gundukan-gundukan tanah. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah unur-unur.
 
Tak banyak yang menyangka, berdasarkan penelitian dan pengembangan arkeologi, akhirnya unur-unur itu mewujud candi.
 
“Dahulu gundukan tanah tersebut sering dipakai masyarakat untuk berkebun atau menggembala ternak. Tidak tahu jika unur itu adalah candi yang tertimbun tanah” kata Nasri menjelaskan.
 
Diantara sejumlah unur yang terhampar, diketahui sebelumnya memang telah memiliki nama, seperti Unur Jiwa, Unur Blandongan, Unur Serut, Unur Lempeng, Unur Lingga, Unur Asem, Unur Damar, dan Unur Gundul.
 
“Perihal sebutan nama unur itu mengacu kepada sebutan masyarakat setempat. Semisal, Unur Jiwa, disebut begitu karena dulunya tiap kali mengembala ke unur itu banyak hewan ternak yang mati entah kenapa. Diibaratkan jiwa yang hilang tanpa sebab, sehingga disebutkan demikian,” katanya lagi.
 
Sementara nama Unur Blandongan, sambung Nasri, mengacu pada tempat berkumpul.
 
Sebab, Sungai Citarum acapkali meluap sehingga unur tersebut dijadikan sebagai tempat kumpul masyarakat karena lokasinya lebih tinggi dari tanah disekitarnya.
 
Kedua candi itu masuk dalam Kompleks Percandian Batujaya. Di sana juga ditemukan beberapa temuan penting.
 
Tahun 2007 berdasarkan hasil penelitian, ditemukan berbagai artefak seperti epigrafi, motif tablet berelief Buddha, fragmen prasasti tanah liat bertuliskan aksara Pallawa, tembikar, dan kerangka-kerangka manusia zaman dulu.
 
Temuan itu lantas dianalisis melalui metode C14 (Radio Carbon Dating), kesimpulannya bangunan percandian di ujung Karawang ini diduga kuat berasal dari masa perkembangan Kerajaan Tarumanagara.
 
Menurut Hasan Djafar dalam Buku Kompleks Percandian Batujaya, Komplek Batujaya dibangun selama dua fase.
 
Fase pertama terjadi pada masa sekitar abad 6-7 Masehi. Sementara fase kedua, terjadi antara awal abad 8-10 Masehi.
 
Informasi itu mengisyaratkan bahwa Percandian Batujaya merupakan Candi Budha tertua di nusantara.
 
Hal itu semakin menguat dari berbagai riset yang dilakukan secara periodik, hasilnya ditemukan beragam bukti sejarah.
 
Semisal, tolok ukur majunya peradaban waktu itu dapat dilihat dari teknologi pembuatan candi yang terbilang canggih dan metode itu masih dipakai hingga saat ini.
 
Hampir di setiap reruntuhan bangunan candi, ditemukan penggunaan stuko atau plester berbahan dasar kapur yang digunakan sebagai lepa.
 
Stuko ini juga dipergunakan sebagai bahan pembuatan ornamen, relief, serta arca. Karena letak kompleks Batujaya berjarak tidak jauh dari Sungai Citarum, bahan baku kapur diambil dari pegunungan karst di Karawang selatan menggunakan tranpostasi perahu.
 
Temuan penting lainnya adalah bangunan candi Batujaya terbuat dari bata hasil olahan tanah merah.
 
Di masa itu, pembuatan batu bata sudah menerapkan inovasi campuran sekam atau kulit padi.
 
“Adanya temuan sekam pada candi menunjukan bahwa masyarakat sudah menggarap pertanian. Unsur sekam sendiri digunakan untuk membakar tanah liat menjadi batu bata agar kokoh,” ujar Nasri.
 
Peradaban yang Maju dan Tenggelam
 
Di laman Kementerian Kebudayaan disebutkan, hadirnya kepurbakalaan di Batujaya tidak terlepas dari penemuan Prasasti Tugu di Cilincing, Jakarta Utara.
 
Hal itu didukung dengan tulisan Hasan Djafar mengenai inskripsi daripada Prasasti Tugu.
 
Disimpulkan, isi tulisan pada prasasti tersebut mengisyaratkan masyarakat Tarumanagara merupakan komunitas yang hidup dengan bercocok tanam, ditunjang dengan pembangunan saluran irigasi dan lokasinya berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
 
Sementara itu, diketahui pula bahwa kompleks Percandian Batujaya ternyata dekat dengan garis pantai.
 
Hal itu berkaitan dengan kajian arsitektural pada kompleks percandian itu yang sejauh ini belum diketahui ihwal luasannya, menunjukkan adanya kesamaan gaya perupaan dengan India Utara, khususnya daerah Nalanda yang dipengaruhi gaya Gandhara.
 
Kemungkinan pada masa itu, pola perdagangan dan pengaruh kebudayaan luar Batujaya telah terbangun melalui jalur maritim.
 
Pasalnya, di gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya tempat menyimpan peninggalan Batujaya terdapat barang-barang kuno seperti gerabah arikamedu, peralatan perunggu, gelang loklak, manik dan keramik yang diduga berasal dari China.
 
Menurut peneliti geologi, T. Bachtiar, lokasi berdirinya Kerajaan Tarumanagara memang berada di muara Citarum.
 
Muara dianggap sebagai wilayah strategis, pada masa kejayaan Tarumanagara memfungsikan dermaga untuk membuka alur perdagangan lintas negara.
 
Bachtiar mengungkapkan, kerajaan itu terletak di bantaran sungai dan dekat dengan pesisir laut.
 
Ungkapan itu didukung dengan ditemukannya kanal disekitar candi. Pada masa itu, masyarakat sudah maju karena mengenal langkah-langkah mitigasi.
 
Menjelang generasi akhir kejayaannya, kerajaan Tarumanagara berada lebih ke dalam daratan sehingga menjadi agak jauh untuk diakses.
 
“Inilah yang saya duga sumber dasar dari kemunduran pamor kerajaan tersebut,” tutur Bachtiar.
 
Saat ini, jarak antara Kompleks Batujaya dengan pesisir Laut Jawa sekitar 5-7 kilometer.
 
Karena dinamika bumi, lanjut Bachtiar, terjadi pengangkatan kawasan oleh transgresi (penambahan muka air laut) dan sedimentasi.
 
Maka, sungai semakin panjang ke utara akibat muaranya terus bergeser ke arah laut Jawa.
 
Citarum bukan hanya alurnya yang panjang, tetapi juga memiliki sejarah sangat panjang.
 
Sejarawan Sunda, A. Sobana Hadjasaputra, pada tulisannya berjudul Citarum dalam Perspektif Sejarah menyebut bahwa fungsi Citarum bukan hanya tentang potensi airnya semata.
 
Tetapi tentang peninggalan Budaya yang menyiratkan kearifan-kearifan lokal tempo dulu.
 
Memasuksi zaman sejarah, Citarum makin penting artinya bagi berbagai kehidupan.
 
Telah disebutkan bahwa dusun di tepi Citarum yang dibangun oleh Jayasinghawarman, kemudian berkembang menjadi Kerajaan Tarumanagara.
 
Di bawah Purnawarman, raja ketiga Tarumanagara, peradaban makin maju berkat kebijakan yang dicanangkannya begitu brilian.
 
Untuk keperluan air bagi pusat kerajaan, tulis Sobana, Purnawarman lantas memerintahkan rakyatnya untuk membuat saluran air, yaitu kali Gomati dan Candrabhaga.
 
Tentu saluran itu dihubungkan dengan Citarum, sehingga saluran air itu menjadi anak sungai Citarum.
 
Dia juga memerintahkan rakyatnya untuk memperbaiki, memperkuat dan memperdalam alur Citarum.
 
Tujuannya agar masyarakat Tarumanagara memiliki mata pencaharian melalui kegiatan pertanian, menangkap ikan, serta perdagangan hasil pertanian. Sekaligus menjadikan Citarum sebagai objek vital distribusi air.
 
“Pada sisi lain, perintah Purnawarman tersebut menunjukkan bahwa raja itu sangat memperhatikan Citarum sebagai “urat nadi” kerajaan,” tulis Sobana.
 
Oleh karena itu, pada beberapa abad yang lalu, Citarum sangat diperhatikan dan kondisinya dipelihara.
 
Sejarah mengenai pemeliharaan Citarum, layak direnungkan untuk mengatasi masalah yang terjadi hari ini.
 
Setidaknya, kita bisa bercermin dari peradaban di masa lampau, dimana sungai dikelola dengan bijak.
 
Adapun sejalan dengan target pemerintah menuju generasi emas tahun 2045.
 
Seyogyanya, perlu merefleksikan kembali budaya lokal sebagai pondasi membangun sebuah bangsa yang visioner.