Merana di Muara Citarum

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 06/11/2018 - Sore itu, sebelum matahari hendak tenggelam di ujung Sungai Citarum, Airin bergegas menyandarkan perahu di tempat pelelangan ikan.
 
Pria 46 tahun itu kerap menyeringai mengangkat wadah ikan menuju timbangan.
 
Sesekali raut wajahnya masam, melihat hasil timbangan yang tak diharapkan jumlahnya.
 
Hasil tangkapan hari ini besar pasak daripada tiang. Nelayan Muara Bendera, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi ini, lagi-lagi harus menelan kekecewaan dengan hasil tangkapannya hari itu.
 
“Ini bukan kali pertama. Sudah hampir 10 tahun belakangan hasil laut terus merosot. Entah kenapa perairan sudah jarang sekali didiami ikan,” gumamnya.
 
Seharian melaut, ia hanya mampu membawa beberapa kilogram ikan kecil dan cumi-cumi senilai Rp 390.000.
 
Setelah dihitung pendapatan dikurangi modal melaut, ternyata tidak ada sisa uang atas jerih payahnya.
 
Justru ia minus Rp 10.000. Airin bersyukur, masih memiliki simpanan dari hasil melaut dua hari lalu.
 
“Pencemaran yang berasal dari sungai hingga bermuara di laut membuat ikan kian sedikit jumlahnya. Melaut menjadi jauh sekali agar bisa mendapatkan hasil. Tapi pertaruhannya besar, bisa jadi modal tidak kembali seperti hari ini,” katanya.
 
Ia juga bercerita bahwa dulu sekali, sebelum tahun 2000-an di sekitar Muara Gembong masih enak cari ikan.
 
Tidak perlu jauh-jauh dan hasilnya pun lumayan, bisa mendapatkan 10 kali lipat dari hasil yang sekarang.
 
Berada di ujung utara Kabupaten Bekasi, Muara Gembong menjadi tempat terakhir menampung aliran Sungai Citarum.
 
Kejayaan daerah di muara Sungai Citarum kini hanya kenangan manis masa lalu.
 
Kerusakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat itu ditenggarai sebagai penyebabnya.
 
Sungai yang berhulu di Cisanti, lereng Gunung Wayang, Bandung Selatan, juga pemenuh kebutuhan air bagi 25 juta jiwa, tetap dirusak sebagian manusia.
 
Mulai dari kotoran hewan ternak, sampah rumah tangga, hingga limbah pabrik yang terus mendera Citarum hingga tercemar polutan berat. Ironisnya jejak suram itu, terus mengalir sampai hilir.
 
Kesaksian ihwal kejayaan muara, dituturkan Ghofur. Meskipun bukan penduduk asli Muara Gembong, ia pernah mencicipi manisnya hidup di muara.
 
15 tahun lalu, ia memutuskan marantau dari Kabupaten Indramayu ke Muara Gembong dengan tujuan membuka tambak.
 
“Keinginan itu sempat tercapai. Dan saya memiliki 1 hektar tambak. Namun, hanya bertahan beberapa tahun saja, sebelum dipaksa hilang oleh abrasi dan kerusakan kualitas air Citarum,” katanya.
 
Ghofur bercerita, gulung tikar usaha tambak miliknya seiring dengan hancurnya kualitas air Citarum.
 
Airnya kerap berwarna coklat tua, sesekali menghitam tatkala gelontoran limbah tiba.
 
Tak heran bila ikan dan udang di sungai mati keracunan. Aroma busuk yang kerap menguap itu, juga seringkali menusuk hidung juga meracuni sakunya.
 
Sebagai muara Citarum, roda ekonomi Bekasi, termasuk Muara Gembong, dulu bergairah.
 
Saat ini kondisinya malah berbeda. Ketimpangan infrastruktur di Muara Gembong kalah dengan kawasan metropolitan di selatan Bekasi, meski jaraknya hanya sekitar 70 kilometer.
 
Dalam sebuah artikel Harian Kompas edisi 6 Januari 2018, dikisahkan, wilayah Bekasi bersama Banten, Bogor, dan Jakarta pernah menjadi wilayah kerajaan tersohor, Tarumanagara, dengan raja termasyhur Purnawarman.
 
Prasasti Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara menjadi tersiratnya kesejahteraan itu.
 
Purnawarman disebut membangun dua saluran air, Chandrabhaga dan Gomati, sekitar abad ke-5 Masehi.
 
Panjang saluran air 6.122 tombak atau sekitar 11 kilometer. Lantas Purnawarman menghadiahkan 1.000 sapi setelah pembangunan saluran selesai.
 
Fungsi saluran itu belum pasti, kemungkinan peredam banjir atau jalur transportasi air.
 
Namun, setidaknya ahli sastra, Poerbatjaraka, mengatakan, Chandrabhaga yang kerap disebut sashbagha atau bhagasasi menjadi inspirasi kata ”Bekasi”.
 
Perubahan Berarti
 
Pasca reformasi, kerusakan makin menjadi-jadi. Alih fungsi lahan di hilir sejalan dengan masifnya deforestasi kawasan hulu.
 
Seolah semua itu larut dalam euphoria tumbangnya orde baru.
 
“Sesudah itu dalam periode waktu 4-5 tahun hutan di hilir habis dibabat dan dialihfungsikan menjadi kegiatan ekonomi sesaat. Entah mengapa itu dilakukan dan terkesan sporadis,” kata Ahmad Qurtubi salah satu tokoh di Muara Gembong.
 
Awalnya, ia melanjutkan, ekosistem hilir begitu terawat. Warga enggan melakukan pembalakan, dikarenakan mereka menyadari betul bahwa hutan bakau atau mangrove sebagai penyangga kehidupan.
 
Potensi ekonomi warga tercukupi, menyandarkan pada kearifan lokal; memanfaatkan hasil alam seperlunya.
 
“Boleh dikatakan kami makmur di muara. Pertanian kami tak pernah kekurangan air dan hasil laut pun terpenuhi. Nelayan kami tidak pernah melaut terlalu jauh, hanya sekitar muara gembong. Itu pun sudah lebih dari cukup menopang perekonomian” katanya.
 
Sementara itu, di Desa Pantai Bahagia, Makrus (57) berusaha menah tawa ketika ditanya ihwal nama yang disematkan kepada kampung halamannya ini.
 
“Hahaha, iya dulu pernah bahagia, sekarang sudah lupa,” katanya terkekeh.
 
Wajar, Makrus, telah lupa akan kebahagiaan yang pernah diraih sebagai petani tambak udang. Sekarang, ia berkerja serabutan.
 
Banyak diantara kawan seperjuangannya telah meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih pasti.
 
“Banyak sekali yang memilih pindah ke tempat lain. Tapi yang jelas alasannya mereka pindah karena tidak tahan dengan banjir yang terus terjadi sepanjang tahun oleh air rob hingga banjir kiriman dari hulu yang bisa merendam hampir 3 pekan” ucap Makrus mengeluh.
 
Kini, sebagian warga bahkan mulai meninggalkan tepi Sungai Citarum.
 
Kerusakan di sana tak sebatas pencemaran dan pendangkalan sungai.
 
Erosi dan abrasi akibat sedimentasi seperti ancaman di depan mata.
 
Penderitaan warga Muara Gembong seolah tak berujung. Mereka mesti menanggung akibat muramnya Sungai Citarum sejak dari hulu.