Menanti Surutnya Limbah di Citarum

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 01/11/2018 - Pemerintah pusat menargetkan Sungai Citarum bersih dalam 7 tahun kedepan.
 
Sejumlah program sudah dicanangkan untuk mewujudkan Citarum Harum. Sejak bulan Februari 2018, pemerintah nampak mulai gencar menata kawasan hulu sungai terpanjang di Jawa Barat ini.
 
Selain konservasi di kawasan hulu, pembersihan limbah industri di sepanjang Sungai Citarum pun menjadi prioritas pemerintah.
 
Sepanjang aliran sungai dari Kabupaten Bandung hingga Kabupaten Bekasi, puluhan ribu perusahaan dan pabrik berdiri di dekat aliran sungai.
 
Sejak itu pula, sungai ini menjadi pembuangan limbah raksasa bagi pabrik-pabrik.
 
Saat ini orang ramai membicarakan Citarum. Tentu saja hal itu tidak lepas dari lahirnya Pepres Nomor 15 Tahun 2018.
 
Namun, tahukah kita bahwa kisah pasang surut sungai yang dianugerahi julukan sebagai salah satu sungai terkotor di bumi ini sudah berlangsung lama hingga melintasi zaman?
 
Salah satu cara termudah melihat perkembangan Citarum adalah melalui program yang telah dilahirkan pemerintah.
 
Informasi mengenai kelanjutannya dapat ditelusuri, ketika memasukkan kata Citarum dalam kolom pencarian di internet, maka dengan cepat akan muncul setidaknya persoalan yang terus terulang, berikut perundang-undangan yang mengatur Citarum.
 
Tahun ini, untuk pertama kalinya, Sungai Citarum adalah sungai yang ditangani langsung oleh presiden.
 
Tentu konteks keterlibatan pemerintah pusat ini terepresentasi melalui terbitnya peraturan tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, pada 14 Maret 2018 lalu.
 
Perpres ini khusus diterbitkan guna mempertebal koridor hukum legal-formal terkait pengawasan dan penindakan terhadap tindakan yang dianggap menghambat atau melawan tujuan program perbaikan Citarum.
 
Sesungguhnya, peraturan tersebut dicetuskan atas gagasan Citarum Harum yang antara lain diinisiasi mantan Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo bersama Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan pemerintah pusat, sebagai upaya memulihkan kondisi Citarum yang muram.
 
Mengingat tidak ada sungai yang peran dan fungsinya begitu strategis seperti Citarum, selain menerangi peradaban dari separuh penduduk Jawa dan Bali sebesar 1.888 megawatt, Citarum juga mengairi area pertanian dan perikanan, memasok air untuk industri, serta menyuplai bahan baku air minum.
 
Seterusnya, perlu dukungan semua pihak yang mendapat manfaat dari Citarum atau berkontribusi merusak Citarum.
 
Adalah fakta sejak dulu, jika limbah memang membahayakan kesehatan meskipun dampaknya tidak seketika terjadi.
 
Terlebih dampak limbah dan beragam bakteri yang terdapat di Citarum, menimbulkan bencana kemanusiaan.
 
Walaupun prosesnya berlangsung lambat, namun harus ditanggulangi.
 
Banjir yang setiap tahun menerpa Bandung adalah karena manajemen air Citarum dan anak sungainya yang tidak optimal. Termasuk soal kerusakan lingkungan di hulu sungai.
 
Maka, penanganan Citarum haruslah komprehensif, bukan lagi parsial. Menyelesaikan masalah dari hulu sampai hilir, dengan perlahan mengubah perilaku masyarakat tetapi tetap memperhatikan ekonomi masyarakat
 
Masalah tersebut disadari atau tidak akibat kendurnya pengawasan pemerintah dan penegak hukum dalam mengawasi pabrik yang membandel.
 
Penegak hukum pun kerap dinilai mandul dalam menegakan aturan meski sudah sangat terang-terangan, pabrik membuang limbahnya secara langsung ke aliran sungai.
 
Salah satu contohnya adalah pabrik penghasil bahan baku pakaian berbahan viscose di daerah Cilangkap, Babakan Cikao, Kabupaten Purwakarta.
 
Kawasan Purwakarta merupakan kawasan tengah dari aliran Citarum. Sebetulnya, kawasan ini masuk zona pemanfaatan.
 
Akan tetapi, di kawasan tersebut berdiri dua pabrik besar pembuat bahan tekstil.
 
Tak main-main, pabrik-pabrik ini merupakan pemasok utama bagi industri pakaian merk internasional.
 
Namun, pabrik-pabrik tersebut malah menyumbangkan masalah bagi kelestarian Sungai Citarum.
 
Lembaga nonprofit dari Inggris Changing Market dalam laporannya berjudul Dirty Fashion: How Pollution in The Global Textiles Supply Chain is Making Viscose Toxic (2017) menyebut bahwa dua pabrik tersebut secara terang-terangan membuang limbahnya langsung ke dalam sungai.
 
Setelah air sungai di sekitar pabrik tersebut diteliti di laboratorium independen, tim menemukan air sungai itu sudah mengalami pencemaran yang sangat tinggi.
 
Kondisi air juga sudah melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
 
Selain aliran sungai yang diduga telah terpapar limbah, kondisi pemukiman penduduk yang berada di kawasan pabrik pun terpapar polusi asap.
 
Bau menyengat sangat terasa saat penulis mengunjungi salah satu pemukiman yang berada di belakang pabrik.
 
Salah seorang warga yang tinggal di Kampung Sawah, Desa Cilangkap, Kecamatan Babakan Cikao, Purwakarta, mengatakan kondisi Sungai Citarum yang berada di dekat rumah mereka sudah sangat kritis.
 
Ia mengatakan, warga sudah tak ada yang berani untuk menggunakan air dari sungai.
 
“Jangankan manusia, ikan aja hanya satu jenis yang hidup di sana. Padahal dulu banyak ikan yang hidup di sana,” ujar warga yang enggan disebutkan namanya itu.
 
Meski dalam aturannya, pemerintah mewajibkan kepada para pabrik untuk membuat Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL), sebagian besar pabrik belum memaksimalkan IPAL-nya secara baik. Bahkan masih ada yang belum memilki IPAL.
 
Teguran pemerintah pun nampak tak main-main. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, telah mengultimatum kepada pabrik yang masih tidak memenuhi aturan.
 
Ultimatumnya berupa penutupan pabrik disamping penegakan hukum berupa perintah relokasi usaha.
 
“Sedang dikaji apakah (perusahaan yang tidak memiliki IPAL) direlokasi atau tidak, karena masih banyak juga yang buang limbah ke Citarum,” ujar Kemenko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan selepas melakukan rapat tertutup mengenai ultimatum perusahan pada 22 Agustus 2018 di Bandung.
 
Demi mengakhiri polemik ini, diharapkan tidak ada tarik menarik kepentingan.
 
Yang dibutuhkan adalah peta jalan pembenahan Citarum secara terintegrasi dan satu komando untuk mengatur siapa menangani soal apa dan siapa bertanggungjawab terhadap apa.
 
Apabila berkaca dari kerusakan Citarum, sudah saatnya kita tidak hanya berpikir soal politik kekuasaan, tetapi juga mulai membuka pemikiran lain yaitu politik lingkungan.
 
Janji pemerintah untuk mengentaskan permasalahan Citarum patut kita tunggu. Pembenahan Citarum memakan waktu lama dan membutuhkan daya tahan.
 
Menyelesaikan permasalahan bukan semata menggunakan pendekatan proyek, melainkan juga dengan pendekatan hati menyelamatkan Citarum dan manusia.