Kejayaan Hilir Citarum Terkikis

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 02/11/2018 - Lebih dari dua dekade lalu, warga Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi boleh berbangga hati dengan julukan yang dilekatkan masyarakat luar terhadap tanah kelahiran mereka.
 
Kawasan yang mereka masyhur dijuluki sebagai “Kampung Dollar”.
 
Sebutan itu tak serta merta terberikan begitu saja, ini lantaran setiap warganya selalu bahagia dan sentosa.
 
Karena warga sekitar merasakan kejayaan dalam mengais berkah dari kegiatan usaha di hilir, seperti tambak dan nelayan.
 
Bersih dan derasnya aliran sungai yang bermula dari Situ Cisanti Kabupaten Bandung ini, berbanding lurus dengan kucuran rezeki yang bisa mereka dulang.
 
Kejayaan daerah di muara Sungai Citarum kini hanya menjadi kisah manis masa lalu. Sejak tahun 1998, berbarengan dengan krisis moneter yang terjadi dalam skala nasional, malapetaka pun menimpa.
 
Usaha tambak ikan dan udang yang sebelumnya nampak begitu menjanjikan perlahan-lahan mulai meredup akibat euphoria reformasi berlebihan.
 
Akibatnya, kehidupan warga pun berubah 180 derajat. Warga dipaksa menerima perubahan.
 
Menurut warga Kampung Beting, Sonhaji, kondisi meredupnya potensi ekonomi dipengaruhi oleh krisis ekologi yang melanda kawasan hulu maupun hilir Citarum.
 
Kerusakan hutan di kawasan hulu serta pencemaran limbah pabrik di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) membuat debit dan kualitas air Citarum mengalami perubahan yang buruk.
 
Di kawasan hilir, warga berupaya bagaimana cara agar pendapatan tidak berkurang.
 
Hingga mereka pun membuka hutan di kawasan pesisir. Kawasan hutan dijarah secara besar-besaran untuk memperluas tambak.
 
“Setelah tahun 98 yang terjadi adalah abrasi akibat Citarum yang tidak terkontrol. Akibat nafsunya warga yang ingin memiliki begitu banyak tambak, akhirnya hutan-hutan yang ada di pesisir ditebang untuk dijadikan tambak. Maka setelah itu mulailah terjadi abrasi, pengikisan tanah,” ungkap Sonhaji.
 
Daratan-daratan yang ada di kampungnya semakin hilang. Tambak pun semakin tidak produktif lagi.
 
Kerusakan lingkungan yang terjadi saat itu diikuti dampak-dampak turunan yang mulai dirasakan warga seiring berjalannnya waktu.
 
Pada tahun 2000-an, pencemaran yang makin menggila membuat warga tak lagi bisa memanfaatkan aliran air Citarum sebagai sumber air konsumsi.
 
Padahal, sebelumnya warga terbiasa menggunakan Citarum untuk kebutuhan kebutuhan sehari-hari mereka.
 
Kini, warga enggan mengunakan air Citarum untuk keperluan minum ataupun memasak.
 
Sumiati (59) mengaku tidak ingin lagi mengkonsumsi air Citarum sekalipun dimasak dulu. Ia mengaku takut bila meminum air tersebut.
 
“Karena airnya berbau dan tercemar kotoran dan sampah,” kata Sumiati yang sudah 15 tahun tak lagi mengandalkan kebutuhan pada Sungai Citarum.
 
Padahal, dulu air Sungai Citarum bisa langsung diminum.
 
Beban hidup pun mesti ditanggung lebih. Setidaknya, Sumiati harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 70.000 setiap bulan untuk membeli air isi ulang.
 
Bila dikalkulasikan selama setahun, ia harus mengalokasikan uang Rp. 1.000.000.
 
Jumlah itu berat bagi Sumiati, yang mengandalkan penghasilan suaminya yang berprofesi sebagi nelayan. Begitu juga dengan 700 kepala keluarga yang menempati Kampung Beting.
 
Namun tak ada pilihan, hal itu terpaksa dilakukan karena khawatir pengalaman pahit terulang kembali.
 
Sepuluh tahun lalu, cucunya yang masih balita harus meregang nyawa akibat muntaber.
 
“Waktu itu cucu saya bermain di sepadan sungai, lalu ia terjatuh dan tidak sengaja meminum banyak air dari Sungai Citarum. Setelah itu ia terus-terusan muntah hingga akhirnya meninggal,” ujarnya.
 
Akses menuju rumah sakit pun terlalu jauh hingga tak sempat mendapat pertolongan medis.
 
Pada tahun 2005, akibat kian masifnya abrasi dan penyempitan Citarum, masyarakat Kampung Beting mulai akrab dengan banjir.
 
Sekali dua dalam sebulan, warga harus menerima kenyataan bahwa rumah tempat merebah lelah malah direndam oleh air rob saat pasang air Laut Jawa.
 
Rentang waktu rendaman akibat air pasang ini terbilang singkat. Hitungan surutnya antara 2-3 jam.
 
Sebaliknya, bila banjir kiriman dari hulu, waktu rendamnya dapat surut selama tiga pekan bahkan lebih.
 
“Dan itu terus kami alami hampir dua dekade ini. Karena memang tidak adanya pencegahan dan tidak adanya perhatian pemerintah dalam hal ini,” imbuh Sonhaji yang juga Ketua Kelompok Sadar Wisata Aliansi Pemuda Bahagia Tangguh (Alipbata).
 
Berdasarkan pengamatannya Sonhaji, level abrasi yang terjadi di Desa Pantai Bahagia mencapai 10-20 meter per tahun.
 
Hingga saat ini, jumlah itu terus melebar. Diprediksi luasan lahan yang mengalami kerusakan yang juga disebabkan abrasi mencapai sekitar 14.500 hektar.
 
Alipbata yang baru hadir pada tahun 2013 telah melakukan pelbagai upaya penghijauan untuk mengatasi dampak buruk akibat kerusakan yang terus terjadi.
 
Secara konsisten, kelompok yang digawangi para pemuda kampung ini terus mensosialisasikan informasi ihwal pentingnya menjaga lingkungan melalui penanaman mangrove.
 
Upaya strategis yang ditempuh untuk menjembatani gagasan kepedulian lingkungan ini didenahkan dalam rupa penanaman pohon-pohon mangrove di areal sekitar pesisir laut.
 
Lebih kurang 200 ribu batang pohon mangrove talah berhasil mereka tanam.
 
“Sebetulnya tujuan utama kami (menanam mangrove) adalah memiliki tanggul untuk menahan air rob. Dan tanggul itu bisa terjadi dengan banyaknya pohon yang ada di kami, atau dengan kata lain kami butuh green belt atau sabuk hijau. Disamping atas dasar itu, kami menaruh harapan agar ekonomi tumbuh kembali di sini,” katanya.
 
Sonhaji dan masyarakat yang tinggal di ujung muara sungai sesungguhnya membutuhkan daratan.
 
Kegiatan yang saat ini mereka lakukan untuk mengembalikan daratan yang telah hilang akibat dari perilaku mereka yang telah merusak hutan mangrove yang dulunya banyak tumbuh di Kampung Beting.
 
“Kami perlu daratan untuk melanjutkan hidup di tanah kelahiran kami sendiri. Kami tidak ingin, kampung kami hilang sepeti hilangnya kejayaan Sungai Citarum” ungkap Sonhaji dengan penuh penyesalan.
 
Tidak Digubris
 
Usaha yang dirintis Sonhaji dan kawan kawan, awalnya medapatkan cemoohan.
 
Akan tetapi setelah berjalan, kini strategi penanaman mangrove mulai mendapat reaksi positif. Selain karena perlahan-lahan mulai mampu memberikan dampak ekologis positif.
 
Keuntungan ekonomis juga diraih, warga membuat berbagai makanan berbahan dasar mangrove. Terdapat tiga jenis olahan, antrara lain dodol, sirup, dan keripik.
 
Namun, keuntungan dari mangrove yang telah ditanam ini tidak bisa dirasakan dengan tenang karena persoalan ketakjelasan status pemilik lahan.
 
Sonhaji dan rekan-rekannya telah menganggap lahan yang mereka tanami sebagai lahan garapan.
 
Berdasarkan cerita dari para sesepuh kampung, praktik penggarapan lahan yang dilakukan warga sudah terjadi sejak tahun 1968.
 
“Untuk (status) lahan yang ada di kami sebetulnya selama ini kami pun tidak tahu siapa pemilik lahan di kami, karena memang masyarakat selama ini merasa memiliki dan masyarakat selama ini membayar pajaknya. Perhutani juga mengklaim lahan yang ada di sini. Bahkan dari pihak (Dinas) Kehutanan juga mengakui bahwa lahan ini punya kehutanan.”
 
Di luar penanaman mangrove, Alipbata juga punya misi menyediakan fasilitas sanitasi berkualitas bagi warga.
 
Sanitasi yang memadai menjadi penting lantaran ia merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar kondisi lingkungan sehat bisa tercipta.
 
Sejalan dengan itu, warga juga berharap agar program Citarum Harum yang sedang dijalankan pemerintah bisa sampai ke hilir.
 
Warga Kampung Beting, sebut Sonhaji, sudah mengetahui keberadaan program-program yang sifatnya merehabilitasi Sungai Citarum.
 
Kerusakan yang terjadi di kawasan hilir Citarum ini diharapkan bisa segera teratasi sehingga ritme kehidupan warga bisa berangsur pulih seperti sedia kala.
 
“Kami berharap pemerintah serius memperbaiki Citarum. Dan kalau boleh kami juga ingin merasakan program Citarum Harum itu ada di wilayah hilir,” katanya.