Di Hulu Citarum, Semua Bermula

Ditulis oleh Dony Iqbal
 
Bandung, 25/10/2018 - Menilik sejarahnya, di masa lalu Sungai Citarum pernah mengantarkan kejayaan bagi peradaban masyarakat di Tatar Sunda.
 
Pelbagai literatur menyebutkan, sedari dulu leluhur telah menjadikan sungai sebagai pusat peradaban.
 
Ketersediaan sumber daya air dinilai kunci dari berkembangannya sebuah kebudayaan.
 
Sehingga segala keutamaan dari peranan sungai diperhatikan. Begitu juga keberadaan hutan sebagai kompenen penunjang kehidupan dijaga sedemikian rupa.
 
“Hingga dahulu ada istilah leweung tutupan, leuweung larangan (hutan garapan dan hutan terlarang; atau hutan yang dijaga) dalam setiap kawasan hutan termasuk di sini,” kata Ujang Suhanda salah satu warga yang dituakan di Kampung Cibereum, Desa Tarumaja, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.
 
Istilah itu terwujud dalam aturan berbasis kearifan lokal. Sebuah tatanan pada masyarakat yang memuat tentang tuntunan bersinergi dengan alam. Bertujuan demi terciptanya keselarasan dan keseimbangan.
 
Akan tetapi, perubahan drastis terjadi di abad awal fase modernisasi. Alhasil, fungsi sungai tidak lagi dipandang penting.
 
Peranan hutan juga ikut bergeser menjadi sesuatu yang bersifat pragmatis. Hingga pada periode 1998-an, hutan segera mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar akibat penyelewengan euforia reformasi.
 
Seiring waktu, hutan di daerah airan sungai (DAS) Citarum pun kian menanjak kritis.
 
Euis (51), buruh tani mengaku sudah 20 tahun menggarap lahan untuk ditanami sayuran di Hulu Citarum. Selama itu, dia mengetahui penyerobotan lahan hutan memang terjadi sejak lama.
 
“Di sini, saya hanya ikut menggarap saja. Memang perambahan itu ada. Karena kalau ingin menambah lahan garapan harus menebang dulu hutan dan itu dilakukan secara berkelompok dengan modal besar,” kata Euis yang menggarap lahan seluas 4 patok di petak 18 milik Perum Perhutani.
 
Dewasa ini, peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan yang tak terkendali mengukuhkan DAS Citarum miliki luasan lahan kritis tertinggi di Jawa Barat.
 
Hal itu, tersurat dalam keputusan Gubernur Jawa Barat tentang penetapan data dan peta lahan kritis tahun 2013.
 
Diketahui luasan lahan kritis berdasarkan kriteria kritis dan sangat kritis di Kabupaten/Kota dan wilayah DAS di tanah Pasundan ini seluas 342.966 hektar dan di fungsi kawasan lindung 216.770 hektar.
 
Jumlah itu kemudian dibagi menjadi 3 kategori zonasi yaitu zona Citarum Hulu meliputi wilayah hulu di Gunung Wayang.
 
Zona Citarum Tengah meliputi wilayah diantara tiga waduk: Saguling – Cirata – Jatiluhur. Serta zona Citarum Hilir meliputi daerah Muara Gembong dan Laut Jawa.
 
Ditambah beberapa sub DAS seperti di bagian hulu terdapat 8 sub DAS, tengah 3 sub DAS dan hilir 4 sub DAS.
 
Secara administrasi semua sub DAS tersebut berada di wilayah administrasi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bogor, Bekasi, Cianjur, Purwakarta dan Karawang.
 
Namun, menjadi pertanyaan mengenai kondisi hutan di sepanjang DAS Citarum masihkah sesusai peruntukannya atau tidak.
 
Pasalnya, keberadaan hutan di kanan-kiri sungai selain dapat menjaga stabilitas tebing sungai, juga menurunkan tingkat kandungan sampah dan bahan kimia berbahaya ke dalam badan air, memelihara suhu air agar tetap dingin dan memperbaiki tingkat dissolved oxygen (DO) dari air (Brooks et al., 1997 dalam Hofer, 2003).
 
Akan tetapi, bila dicermati bagian hulu DAS Citarum, misalnya, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum mencatat luasan lahan kritis memang mencapai 26.022,47 hektar.
 
Akibatnya, run off di aliran permukaan menunjukan angka 3.632,50 juta meter kubik pertahun dengan menyumbang sedimentasi sebesar 7.898,59 ton per-hektar.
 
Kondisi tersebut membuktikan bahwa kondisi Citarum tidak baik-baik saja.
 
Merujuk data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Citarum Ciliwung (BPDASHL Citarum Ciliwung) tahun 2009, luas keseluruhan DAS Citarum mencapai 721.945,66 hektar.
 
230.802 hektar diantaranya berada di kawasan hulu Citarum. Maka disimpulkan secara umum permasalahan Citarum merupakan konversi lahan hutan yang mengakibatkan beragam persoalan sebagai dampak dari kawasan lindung (hutan dan non hutan) semakin berkurang oleh pengembangan kawasan permukiman tidak terencana, dan pola tanam pertanian yang tidak sesuai untuk lahan kritis.
 
Beragam Persoalan
 
Akibatnya, sungai sepanjang 297 kilometer ini terus dilanda bencana yang tidak berkesudahan, seperti banjir tahunan di Bandung Selatan, terutama saat musim hujan.
 
Fenomena rusaknya DAS Citarum Hulu adalah kekeringan hebat ketika musim kemarau, dan sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir disertai dengan buruknya kualitas air.
 
Tidak hanya itu, pertumbuhan penduduk juga mendorong meningkatnya kebutuhan air baku untuk keperluan air domestik, pertanian, dan industri.
 
Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah penduduk di sekitar WS Citarum mencapai 15.303.758 jiwa.
 
Saat ini, barangkali jumlah penduduk sudah bertambah hampir dua kali lipat. Sayangnya, pertumbuhan itu tumbuh tak terkendali dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan berbagai macam permasalahan.
 
Permasalahan lainnya dari kerusakan hutan adalah tingkat pengambilan air tanah pun diluar kendali.
 
Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah.
 
Padahal fungsi ekologis dari DAS sangat dominan sebagai pengatur tata air, menjaga waktu dan ketersediaan aliran air sungai, menjaga iklim mikro dan mampu melindungi daerah di hilirnya dari berbagai bencana seperti banjir (Asdak, 1995).
 
Tekanan penduduk dan aktivitas ekonomi yang terus meningkat telah menyebabkan perubahan penggunaan lahan.
 
Masalahnya, terganggunya fungsi hidrologis di DAS Citarum juga dipicu konversi lahan di daerah tangkapan air, yakni dari lahan resapan air menjadi lahan terbangun, sehingga air yang meresap ke dalam tanah semakin berkurang.
 
Seperti diketahui, DAS Citarum merupakan salah satu DAS memiliki nilai penting bagi Jawa Barat dan juga memiliki nilai strategis nasional.
 
Air dari Sungai Citarum digunakan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun pembangunan, mulai dari sumber baku air minum, sumber baku air industri, irigasi, sampai dengan pembangkit listrik se Jawa-Bali.
 
Sesungguhnya Sungai Citarum yang berhulu dari mata air di Gunung Wayang, dan bermuara di Laut Jawa wilayah Kabupaten Karawang adalah anugerah. Sehingga upaya perbaikan mutlak terus diupayakan.